Latest Post
Showing posts with label BIOGRAFI ULAMA. Show all posts
Showing posts with label BIOGRAFI ULAMA. Show all posts
Jalaludinrumi Sang Penyair
Written By Unknown on Thursday, May 29, 2014 | 9:53 PM
Jalaluddin Rumi – nama lengkapnya, Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakhri – lahir di Balkh (Afghanistan sekarang) pada tanggal 30 September 1207. Para Orientalis di Barat mengakui Rumi sebagai penyair yang terbesar dari semua penyair mistik yang pernah ada dalam peradaban Islam. Tidak ada penyair di dalam sejarah – tidak juga Shakespeare Atau Dante – yang secara nyata mempunyai dampak pada peradaban seperti yang dilakukan oleh Rumi. Dan tak ada puisi yang mampu membangkitkan ekstase mistik dan kebahagiaan kepada pembacanya seperti puisi-puisi yang ditulis oleh Rumi.
IMAM SYAFI'I
Written By Unknown on Sunday, August 4, 2013 | 9:31 PM
Imam Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri madzhab Syafi’i memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris As Syafi’i Al Quraisy. Beliau dilahirkan di daerah Ghazzah, Palestina pada tahun 150 H di bulan Rajab.
Nasab Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdullah bin Abdu Manaf. Kun-yah (panggilan kehormatan) beliau adalah Abu Abdullah (bapaknya Abdullah) dikarenakan salah seorang anak beliau yang bernama Abdullah. Nasab Imam Syafi’i bertemu dengan nasab Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. pada Abdu Manaf. Sedangkan Hasyim kakek Imam Syafi’i bukanlah kakek dari Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم..
Diriwayatkan bahwa ketika beberapa hari setelah ibunda Imam Syafi’i melahirkan terdengar kabar dari Baghdad tentang meninggalnya Imam Abu Hanifah. Tatkala diteliti dengan seksama ternyata hari meninggalnya Imam Abu Hanifah bertepatan dengan saat lahirnya Imam Syafi’i. Para ulama waktu itu mengisyaratkan bahwa Muhammad yang baru lahir kelak akan mengikuti derajat keilmuan Imam Abu Hanifah.
Hadits Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. yang mengisyaratkan kedatangan Imam Syafi’i
Para ulama telah menelaah sejumlah hadits dari Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. berkenaan dengan kegembiraan Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. kepada Imam Syafi’i.
Hadits dari Ibnu Mas’ud beliau berkata: “Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. telah bersabda: janganlah kamu mencaci-maki Quraisy karena orang alim Quraisy itu ilmunya akan memenuhi bumi. Ya Allah, Engkau telah memberi siksaan pada awal Quraisy, maka berilah anugerah pada akhir Quraisy.”
Hadits dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata: “Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. telah bersabda: jangan kamu mengimami orang Quraisy dan bermakmumlah kamu pada mereka. Jangan mendahului Quraisy akan tetapi dahulukanlah mereka. Jangan kamu mengajari Quraisy tetapi belajarlah dari mereka karena ilmu orang alim Quraisy akan menyebar ke seluruh dunia,”
Kesungguhan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu
Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan kondisi keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, keadaan itu membuat beliau makin giat menuntut ilmu. Pada umur 9 tahun beliau telah hafal Al Quran seluruhnya. Beliau banyak berdiam di Masjid al-Haram dimana beliau menuntut ilmu pada ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu.
Beliau mencatat ilmu-ilmu yang telah diperolehnya pada kertas-kertas, kulit dan tulang binatang. Hingga pada suatu hari kamar tempat istirahatnya penuh oleh kertas, kulit dan tulang. Maka seluruh catatan pada benda-benda itu dihafal oleh Imam seluruhnya, lalu setelah itu benda-benda tersebut dibakarnya.
Kekuatan hafalan Imam Syafi’i sangat mencengangkan. Sampai-sampai seluruh kitab yang dibaca dapat dihafalnya. Ketika beliau membaca satu kitab beliau berusaha menutup halaman yang kiri dengan tangan kanannya karena khawatir akan melihat halaman yang kiri dan menghafalnya terlebih dahulu sebelum beliau hafal halaman yang kanan.
Mengenai hal ini beliau bercerita: bahwa beliau pernah bermimpi bertemu Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. dan Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. berkata kepadanya: “Siapa kamu hai anak muda?” Imam Syafi’i berkata. : “aku termasuk umatmu, ya Rasulullah” Rasul berkata: “mendekatlah padaku.”
Imam Syafi’i lalu mendekat kepada Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم., lalu Rasul mengambil air liurnya dan meletakkan air liur itu ke dalam mulut dan bibir Imam Syafi’i. setelah itu Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. berkata padanya: “ berangkatlah, semoga Allah memberkahimu.” Setelah mimpi itu beliau tak pernah merasa kesulitan dalam menghafal ilmu.
Beliau juga telah mencapai kemampuan berbahasa yang sangat indah. Kemampuan beliau dalam menggubah syair dan ketinggian mutu bahasanya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sangat tinggi oleh orang-orang alim yang sejaman dengan beliau.
Demikian tinggi prestasi-prestasi keilmuan yang telah beliau capai dalam usia yang masih sangat belia, sehingga guru-gurunya membolehkan beliau untuk berfatwa di Masjid al-Haram. Ketika itu beliau bahkan baru mencapai usia 15 tahun.
Kepergian Imam Syafi’i ke Madinah
Imam Syafi’i hidup sejaman dengan Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar pendiri madzhab Maliki. Imam Malik bin Anas juga dikenal sebagai Ahli Hadits. Beliau menghimpun hadits-hadits nabi dalam kitab beliau yang berjudul Muwattha’. Imam Syafi’i pernah meminjam kitab Muwattha’ pada salah seorang penduduk Mekkah dan menghafalnya dalam waktu singkat. Imam Syafi’i rindu untuk melihat Imam Malik di Madinah Al Munawwarah dan berharap dapat mengambil manfaat dari ilmu beliau.
Maka pada suatu hari berangkatlah Imam Syafi’i ke Madinah dengan niat untuk menuntut ilmu. Dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah beliau mengkhatamkan bacaan Al Qur’an sebanyak 16 kali. Malam satu kali khatam dan siangnya satu kali. Pada hari ke delapan beliau tiba di Madinah setelah shalat ashar. Beliau shalat di Masjid Nabawi dan berziarah terlebih dahulu ke makam Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم.. Setelah itu baru beliau menuju kediaman Imam Malik bin Anas.
Ketika Imam Syafi’i menghadap Imam Malik, beliau berkata: “mudah-mudahan Allah selalu memberimu kebaikan. Aku adalah seorang penuntut ilmu. Kondisi dan ceritaku begini dan begini…”
Mendengar perkataan itu Imam Malik merasa kasihan dan bertanya kepadanya: “siapa namamu?” menjawab: “Muhammad.” Imam Malik berkata kepadanya; “wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, hindarilah maksiat. Aku melihat di hatimu ada cahaya. Karena itu janganlah kamu padamkan cahaya itu dengan maksiat. Sesungguhnya cahaya itu akan menjadikanmu dibutuhkan oleh manusia. “ Imam Syafi’i menjawab: “ya.” Imam Malik lalu berkata: “kalau besok kamu masih ada, kami akan mengajarkanmu kitab Muwattha’.”
Imam Syafi’i berkata: “wahai tuanku, aku telah membaca kitab Muwattha’ sampai hafal.”“bacalah!” lalu Imam Syafi’i membaca dan Imam Malik menyimaknya. Ketika Imam Syafi’i khawatir Imam Malik lelah, maka beliau berhenti. Dan Imam Malik lalu berkata: “teruskan wahai anak muda, aku akan memperbaiki bacaanmu.” Demikianlah, maka aktivitas harian Imam Syafi’i adalah membaca kitab Muwattha’ dibawah bimbingan Imam Malik.
Beliau pun selalu hadir di majlis ilmu Imam Malik yang menerangkan tentang hadits-hadits Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم.. Imam Malik memuji kuatnya hafalan dan keluasan pemahaman Imam Syafi’i terhadap ilmu yang dipelajarinya. Seringkali sehabis membacakan kitabnya, Imam Malik meminta Imam Syafi’i untuk menyampaikannya kepada orang lain. Imam Malik juga sering memberikan hadiah kepada sang murid sebagai wujud rasa cinta dan perhatian beliau kepadanya.
Demikian juga Imam Syafi’i begitu mencintai gurunya dengan sepenuh hati. Beliau berkata: “Malik bin Anas adalah guruku. Dari beliau aku belajar dan tidak ada orang yang aku percaya kecuali Malik bin Anas. Dan aku menjadikan Malik bin Anas sebagai hujjah (saksi) antara aku dan Allah.”
Kepergian Imam Syafi’i ke Iraq
Pada waktu Imam Syafi’i telah menyelesaikan pelajarannya pada Imam Malik, beliau mendengar kabar tentang Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang adalah murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yang sedang berada di Iraq yaitu di kota Kufah. Beliau ingin sekali bertemu dengan mereka berdua. Maka Imam Syafi’i lantas memohon izin kepada Imam Malik untuk pergi ke Iraq.
Imam Malik memberi tambahan bekal kepada beliau dan menyewakannya hewan tunggangan menuju kota Kufah.
Di Kufah, begitu berjumpa dengan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, mereka berdua sangat gembira dengan kedatangan Imam Syafi’i. Mereka bertanya kepada beliau tentang Imam Malik bin Anas. Beliau berkata: “aku telah datang kepadanya.” Salah satu dari keduanya berkata: “apakah kamu melihat kitab Muwattha’?” Imam Syafi’i menjawab: “aku telah menghafal kitab tersebut dalam lubuk hatiku.”
Itu semua telah membuat Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf menaruh hormat kepada Imam Syafi’i. Muhammad bin Hasan lalu bertanya kepada beliau tentang masalah thaharah, zakat, jual beli, dan masalah lainnya yang dijawab dengan jawaban yang sangat bagus oleh Imam Syafi’i. Bertambah kagumlah Muhammad bin Hasan pada beliau. Kemudian ia mengajak Imam Syafi’i ke rumahnya dan mengizinkan Imam Syafi’i untuk menyalin kitab apa saja yan dia inginkan yang ada di perpustakaan miliknya.
Selama di Kufah, Imam Syafi’i menjadi tamu Muhammad bin Hasan. Ketika beliau telah selesai mempelajari kitab-kitab di perpustakaan Muhammad bin Hasan, beliau lantas mohon izin untuk meneruskan perjalanan menuju Persia dan kota-kota disekitarnya.
Kembali ke Madinah
Ketika beliau di kota Romlah ada serombongan orang Madinah datang. Beliau bertanya tentang keadaan guru beliau, Imam Malik bin Anas. Mereka menjawab bahwa Imam Malik dalam keadaan sehat. Imam Syafi’i merasa rindu dan ingin sekali berjumpa dengan guru yang sangat dicintainya itu. Maka beliau pun mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju ke Madinah.
Sampai di Madinah, setelah berziarah ke makam Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم., beliau lantas menuju pengajian Imam Malik. Ketika Imam Malik mengetahui kehadiran Imam Syafi’i, beliau memanggilnya dan memeluknya dengan penuh kerinduan. Murid-murid Imam Malik yang lain merasa terharu melihat peristiwa ini. Imam Malik lalu membawa Imam Syafi’i duduk disisinya. Beliau berkata: “ajarilah ini, wahai Syafi’i.” Setelah menyelesaikan pelajaran itu, Imam Malik mengajak Imam Syafi’i ke rumahnya.
Imam Syafi’i tinggal selama beberapa tahun di Madinah. Selama itu beliau senantiasa mendapat perlakuan yang istimewa dan sangat diperhatikan oleh gurunya. Pada bulan Rabi’ul awwal tahun 179 H Imam Malik bin Anas wafat dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ di kota Madinah. Seluruh penduduk Madinah tenggelam dalam duka cita karena meninggalnya Imam yang sangat alim dan mulia ini.
Setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i masih tinggal beberapa lama di Madinah. Beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmunya di sana.
Berita tentang keluasan ilmu beliau segera saja menyebar ke seluruh negeri. Orang berduyun-duyun datang untuk menyimak pelajaran yang beliau sampaikan. Ketinggian ilmu dan ma’rifahnya, baik itu dibidang fiqh, hadits, filsafat, kedokteran, ilmu falak dan lain-lain membuat khalifah Harun al-Rasyid mengundang beliau dan meminta beliau untuk mengajar di kota Baghdad.
Sejak saat itu beliau dikenal secara luas dan lebih banyak lagi orang yang datang menuntut ilmu padanya. Pada waktu itulah madzhab beliau mulai dikenal. Imam Syafii mengajar banyak orang yang kelak sebagian dari mereka menjadi ulama-ulama yang besar pula. Diantara murid-murid beliau yaitu Imam Ahmad bin Hanbal yang kelak dikenal sebagai salah seorang Imam madzhab juga.
Semua orang, baik dari kalangan pejabat maupun rakyat sangat mencintai dan mengagungkan kedudukan Imam Syafi’i. Demikian pula murid-murid beliau begitu menaruh hormat padanya.
Ini terbukti ketika Imam Ahmad bin Hanbal sakit dan Imam Syafi’i membesuknya. Waktu beliau sampai di rumahnya, Imam Ahmad bin Hanbal langsung turun dari tempat tidurnya dan meminta Imam Syafi’i untuk duduk di tempat itu. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal duduk di tanah dan sewaktu-waktu beliau bertanya pada Imam Syafi’i.
Ketika Imam Syafi’i hendak pulang, Imam Ahmad bin Hanbal menaikkan beliau ke hewan tunggangannya. Lalu Imam Ahmad bin Hanbal naik ke tunggangannya -beliau dalam kondisi sakit- dengan menerobos jalan dan pasar-pasar Baghdad, sampai ia bisa mengantar Imam Syafi’i tiba di rumahnya.
Pulang ke Mekkah
Setelah beberapa waktu berada di Baghdad, beliau bermaksud pulang ke Mekkah. Memakan waktu perjalanan beberapa hari akhirnya beliau sampai di Mekkah. Waktu itu tahun 181 H. Sebelum masuk kota Mekkah, beliau mendirikan kemah di luar kota. Penduduk Mekkah keluar untuk menyampaikan salam dan menyambutnya.
Beliau lalu membagi-bagikan seluruh emas dan perak yang beliau miliki kepada mereka. Hal itu dilakukan untuk melaksanakan wasiat ibunya ketika beliau datang ke Mekkah. Begitulah, Imam Syafi’i masuk ke kota Mekkah dalam keadaan tidak membawa apapun, sama seperti ketika beliau keluar dari Mekkah dalam keadaan tidak membawa benda apapun.
Beliau tinggal di Mekkah selama 17 tahun. Selama berada disana beliau mengajarkan ilmu pada manusia. Madzhab Imam Syafi’i tersebar di antara jamaah haji dan mereka membawa madzhab tersebut ke tempat asal mereka masing-masing.
Selama 17 tahun tinggal di Mekkah beliau mendengar wafatnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang dahulu pernah ditemuinya di kota Kufah. Setelah itu wafat pula Harun al-Rasyid.
Setelah sekian lama tinggal di Mekkah beliau lantas kembali ke kota Baghdad. Disana beliau melanjutkan kegiatan mengajar selama beberapa waktu. Setelah itu beliau bermaksud hendak pergi ke Mesir. Ketika penduduk Baghdad mendengar akan kepergian orang mulia ini, maka mereka keluar untuk perpisahan dengan beliau.
Di tengah-tengah penduduk ini ada Imam Ahmad bin Hanbal. Maka diwaktu itu Imam Syafi’i memegang erat tangan Imam Ahmad bin Hanbal dan berkata: “sungguh aku rindu akan bumi Mesir. Selain Mesir adalah bumi yang tandus. Demi Allah, aku tidak tahu untuk kemuliaan atau untuk kaya aku pindah ke Mesir. Atau pindah ke kubur?”
Seakan-akan Imam Syafii merasa akan wafat di Mesir dan kuburannya akan berada di negeri itu. Lalu beliau menangis. Imam Ahmad bin Hanbal dan semua orang yang menyaksikan perpisahan itu menangis semua. Imam Ahmad bin Hanbal pulang sambil bercucuran airmata dan berkata pada para penduduk Baghdad: “ sungguh ilmu fiqh telah tertutup, lalu Allah membukakan ilmu itu dengan kedatangan Imam Syafi’i.”
Menetap di Mesir
Di negeri Mesir segera saja penduduknya jatuh hati pada Imam Syafi’i. Para ulama negeri itu juga memuliakannya dan meminta beliau untuk mengajar di masjid Amru bin Ash. Beliau mengajar sehabis subuh sampai zhuhur. Imam Syafi’i adalah orang pertama yang mengajar ilmu hadits di Mesir sampai zhuhur. Setelah itu beliau melanjutkan pelajaran di rumahnya.
Para ulama dan orang-orang jenius terpelajar lainnya datang menyimak pelajaran yang beliau sampaikan baik di masjid maupun di rumah. Di antara orang-orang yang belajar pada beliau yang kelak menjadi ulama terkenal adalah Muhammad bin Abdullah bin Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti, Rabi’ Al-Jizi dan lain sebagainya.
Ketika di Mesir ini pula Imam Syafi’i banyak menulis kitab yang berisi madzhab beliau. Di antara kitabnya adalah Al-Umm, Imla’ al-Shaghir, Jizyah, Ar-Risalah dan lain sebagainya.
Sebagian dari akhlak Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang yang taqwa, zuhud dan wara’. Beliau juga sangat santun dalam memberi peringatan kepada orang yang melakukan kesalahan. Hatinya sangat lembut dan dermawan terhadap harta.
Baihaqi meriwayatkan dari Hasan bin Habib. Dia berkata: “Aku melihat Imam Syafi’i menunggang kuda melewati pasar sepatu.
Tiba-tiba cambuknya jatuh dan mengenai salah seorang pedagang sepatu. Lalu pedagang sepatu itu mengusap cambuk untuk membersihkannya dan memberikan cambuk itu pada beliau. Imam Syafi’i lalu menyuruh budaknya untuk memberikan uangnya pada pedagang itu.”
Tiada hari yang dilewati beliau tanpa bershadaqah. Siang dan malam beliau selalu bershadaqah, Apalagi di bulan Ramadhan. Beliau juga sering mengunjungi fakir miskin dan menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka. Untuk menafkahi keluarganya beliau berdagang.
Imam Syafi’i sangat baik dalam memperlakukan kerabat-kerabatnya. Beliau menghormati mereka dan tidak menyombongkan dirinya. Beliau menghormati orang sesuai posisinya. Imam Syafi’i pernah berkata: “Paling zhalimnya orang adalah ia yang menjauhi kerabatnya, tidak mau tahu terhadap mereka, meremehkan dan sombong pada orang yang memiliki keutamaan.”
Beliau juga senantiasa memaafkan orang yang berbuat kesalahan kepadanya. Beliau membalas kejahatan dengan kebaikan dan tidak pernah menyimpan dendam kepada seseorang.
Pujian Ahmad bin Hanbal kepada Imam Syafi’i
Sewaktu di Baghdad, Imam Syafi’i selalu bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam Syafi’i, sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada bapaknya itu. Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di rumah untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal lalu menemui Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu.
Ketika Imam Syafi’i telah berada di rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan banyak sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri Imam Ahmad bin Hanbal.
Setelah makan malam, Imam Ahmad bin Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan tubuhnya dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu subuh tiba beliau langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih dulu.
Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam Syafi’i, yang menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad yang menolak untuk menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i.
Mengenai hidangan yang dimakannya dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad, memang benar aku makan banyak, dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan itu halal dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya dan makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan malam ini adalah malam yang paling berkah bagiku.”
“Kenapa begitu, wahai guru?”
“Begitu aku meletakkan kepala di atas bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. digelar di hadapanku. Aku menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang bermanfaat bagi orang islam. Karena itu aku tak sempat shalat malam.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada putrinya: “inilah yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh, berbaringnya beliau lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak tidur.”
Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku shalat subuh tanpa wudhu sebab aku masih
suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun .wudhuku masih terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat subuh tanpa berwudhu lagi.”
Dilain kesempatan Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “aku tidak pernah shalat sejak 40 tahun silam kecuali dalam shalatku itu aku berdoa untuk Imam Syafi’i.”
Abdullah, putranya lantas bertanya: “wahai ayahku, seperti apa sih Syafi’i, sehingga ayah selalu berziaroh ke Makam Imam Syafi'i
berdoa untuknya?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “wahai anakku, Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi dunia dan seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah anakku, betapa pentingnya dua hal itu.”
Abdul Malik bin Abdul Hamid al-Maimuni berkata: “Aku berada di sisi Ahmad bin Hanbal dan beliau selalu menyebut Imam Syafi’i. Aku selalu melihat beliau mengagungkan Imam Syafi’i.”
Wafatnya Imam Syafi’i
Beliau wafat pada malam jum’at akhir dari bulan Rajab tahun 204 H setelah mengalami sakit selama beberapa waktu. Setelah isya ruh beliau yang suci kembali ke Rahmatullah di pangkuan murid beliau, yaitu Rabi’ al-Jizi. Jenazah beliau dimakamkan dengan iringan tangis dan rintih duka cita dari segenap penduduk Mesir.
Nasab Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdullah bin Abdu Manaf. Kun-yah (panggilan kehormatan) beliau adalah Abu Abdullah (bapaknya Abdullah) dikarenakan salah seorang anak beliau yang bernama Abdullah. Nasab Imam Syafi’i bertemu dengan nasab Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. pada Abdu Manaf. Sedangkan Hasyim kakek Imam Syafi’i bukanlah kakek dari Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم..
Diriwayatkan bahwa ketika beberapa hari setelah ibunda Imam Syafi’i melahirkan terdengar kabar dari Baghdad tentang meninggalnya Imam Abu Hanifah. Tatkala diteliti dengan seksama ternyata hari meninggalnya Imam Abu Hanifah bertepatan dengan saat lahirnya Imam Syafi’i. Para ulama waktu itu mengisyaratkan bahwa Muhammad yang baru lahir kelak akan mengikuti derajat keilmuan Imam Abu Hanifah.
Hadits Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. yang mengisyaratkan kedatangan Imam Syafi’i
Para ulama telah menelaah sejumlah hadits dari Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. berkenaan dengan kegembiraan Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. kepada Imam Syafi’i.
Hadits dari Ibnu Mas’ud beliau berkata: “Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. telah bersabda: janganlah kamu mencaci-maki Quraisy karena orang alim Quraisy itu ilmunya akan memenuhi bumi. Ya Allah, Engkau telah memberi siksaan pada awal Quraisy, maka berilah anugerah pada akhir Quraisy.”
Hadits dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata: “Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. telah bersabda: jangan kamu mengimami orang Quraisy dan bermakmumlah kamu pada mereka. Jangan mendahului Quraisy akan tetapi dahulukanlah mereka. Jangan kamu mengajari Quraisy tetapi belajarlah dari mereka karena ilmu orang alim Quraisy akan menyebar ke seluruh dunia,”
Kesungguhan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu
Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan kondisi keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, keadaan itu membuat beliau makin giat menuntut ilmu. Pada umur 9 tahun beliau telah hafal Al Quran seluruhnya. Beliau banyak berdiam di Masjid al-Haram dimana beliau menuntut ilmu pada ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu.
Beliau mencatat ilmu-ilmu yang telah diperolehnya pada kertas-kertas, kulit dan tulang binatang. Hingga pada suatu hari kamar tempat istirahatnya penuh oleh kertas, kulit dan tulang. Maka seluruh catatan pada benda-benda itu dihafal oleh Imam seluruhnya, lalu setelah itu benda-benda tersebut dibakarnya.
Kekuatan hafalan Imam Syafi’i sangat mencengangkan. Sampai-sampai seluruh kitab yang dibaca dapat dihafalnya. Ketika beliau membaca satu kitab beliau berusaha menutup halaman yang kiri dengan tangan kanannya karena khawatir akan melihat halaman yang kiri dan menghafalnya terlebih dahulu sebelum beliau hafal halaman yang kanan.
Mengenai hal ini beliau bercerita: bahwa beliau pernah bermimpi bertemu Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. dan Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. berkata kepadanya: “Siapa kamu hai anak muda?” Imam Syafi’i berkata. : “aku termasuk umatmu, ya Rasulullah” Rasul berkata: “mendekatlah padaku.”
Imam Syafi’i lalu mendekat kepada Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم., lalu Rasul mengambil air liurnya dan meletakkan air liur itu ke dalam mulut dan bibir Imam Syafi’i. setelah itu Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. berkata padanya: “ berangkatlah, semoga Allah memberkahimu.” Setelah mimpi itu beliau tak pernah merasa kesulitan dalam menghafal ilmu.
Beliau juga telah mencapai kemampuan berbahasa yang sangat indah. Kemampuan beliau dalam menggubah syair dan ketinggian mutu bahasanya mendapat pengakuan dan penghargaan yang sangat tinggi oleh orang-orang alim yang sejaman dengan beliau.
Demikian tinggi prestasi-prestasi keilmuan yang telah beliau capai dalam usia yang masih sangat belia, sehingga guru-gurunya membolehkan beliau untuk berfatwa di Masjid al-Haram. Ketika itu beliau bahkan baru mencapai usia 15 tahun.
Kepergian Imam Syafi’i ke Madinah
Imam Syafi’i hidup sejaman dengan Imam Malik bin Anas, seorang ulama besar pendiri madzhab Maliki. Imam Malik bin Anas juga dikenal sebagai Ahli Hadits. Beliau menghimpun hadits-hadits nabi dalam kitab beliau yang berjudul Muwattha’. Imam Syafi’i pernah meminjam kitab Muwattha’ pada salah seorang penduduk Mekkah dan menghafalnya dalam waktu singkat. Imam Syafi’i rindu untuk melihat Imam Malik di Madinah Al Munawwarah dan berharap dapat mengambil manfaat dari ilmu beliau.
Maka pada suatu hari berangkatlah Imam Syafi’i ke Madinah dengan niat untuk menuntut ilmu. Dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah beliau mengkhatamkan bacaan Al Qur’an sebanyak 16 kali. Malam satu kali khatam dan siangnya satu kali. Pada hari ke delapan beliau tiba di Madinah setelah shalat ashar. Beliau shalat di Masjid Nabawi dan berziarah terlebih dahulu ke makam Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم.. Setelah itu baru beliau menuju kediaman Imam Malik bin Anas.
Ketika Imam Syafi’i menghadap Imam Malik, beliau berkata: “mudah-mudahan Allah selalu memberimu kebaikan. Aku adalah seorang penuntut ilmu. Kondisi dan ceritaku begini dan begini…”
Mendengar perkataan itu Imam Malik merasa kasihan dan bertanya kepadanya: “siapa namamu?” menjawab: “Muhammad.” Imam Malik berkata kepadanya; “wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah, hindarilah maksiat. Aku melihat di hatimu ada cahaya. Karena itu janganlah kamu padamkan cahaya itu dengan maksiat. Sesungguhnya cahaya itu akan menjadikanmu dibutuhkan oleh manusia. “ Imam Syafi’i menjawab: “ya.” Imam Malik lalu berkata: “kalau besok kamu masih ada, kami akan mengajarkanmu kitab Muwattha’.”
Imam Syafi’i berkata: “wahai tuanku, aku telah membaca kitab Muwattha’ sampai hafal.”“bacalah!” lalu Imam Syafi’i membaca dan Imam Malik menyimaknya. Ketika Imam Syafi’i khawatir Imam Malik lelah, maka beliau berhenti. Dan Imam Malik lalu berkata: “teruskan wahai anak muda, aku akan memperbaiki bacaanmu.” Demikianlah, maka aktivitas harian Imam Syafi’i adalah membaca kitab Muwattha’ dibawah bimbingan Imam Malik.
Beliau pun selalu hadir di majlis ilmu Imam Malik yang menerangkan tentang hadits-hadits Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم.. Imam Malik memuji kuatnya hafalan dan keluasan pemahaman Imam Syafi’i terhadap ilmu yang dipelajarinya. Seringkali sehabis membacakan kitabnya, Imam Malik meminta Imam Syafi’i untuk menyampaikannya kepada orang lain. Imam Malik juga sering memberikan hadiah kepada sang murid sebagai wujud rasa cinta dan perhatian beliau kepadanya.
Demikian juga Imam Syafi’i begitu mencintai gurunya dengan sepenuh hati. Beliau berkata: “Malik bin Anas adalah guruku. Dari beliau aku belajar dan tidak ada orang yang aku percaya kecuali Malik bin Anas. Dan aku menjadikan Malik bin Anas sebagai hujjah (saksi) antara aku dan Allah.”
Kepergian Imam Syafi’i ke Iraq
Pada waktu Imam Syafi’i telah menyelesaikan pelajarannya pada Imam Malik, beliau mendengar kabar tentang Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang adalah murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yang sedang berada di Iraq yaitu di kota Kufah. Beliau ingin sekali bertemu dengan mereka berdua. Maka Imam Syafi’i lantas memohon izin kepada Imam Malik untuk pergi ke Iraq.
Imam Malik memberi tambahan bekal kepada beliau dan menyewakannya hewan tunggangan menuju kota Kufah.
Di Kufah, begitu berjumpa dengan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, mereka berdua sangat gembira dengan kedatangan Imam Syafi’i. Mereka bertanya kepada beliau tentang Imam Malik bin Anas. Beliau berkata: “aku telah datang kepadanya.” Salah satu dari keduanya berkata: “apakah kamu melihat kitab Muwattha’?” Imam Syafi’i menjawab: “aku telah menghafal kitab tersebut dalam lubuk hatiku.”
Itu semua telah membuat Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf menaruh hormat kepada Imam Syafi’i. Muhammad bin Hasan lalu bertanya kepada beliau tentang masalah thaharah, zakat, jual beli, dan masalah lainnya yang dijawab dengan jawaban yang sangat bagus oleh Imam Syafi’i. Bertambah kagumlah Muhammad bin Hasan pada beliau. Kemudian ia mengajak Imam Syafi’i ke rumahnya dan mengizinkan Imam Syafi’i untuk menyalin kitab apa saja yan dia inginkan yang ada di perpustakaan miliknya.
Selama di Kufah, Imam Syafi’i menjadi tamu Muhammad bin Hasan. Ketika beliau telah selesai mempelajari kitab-kitab di perpustakaan Muhammad bin Hasan, beliau lantas mohon izin untuk meneruskan perjalanan menuju Persia dan kota-kota disekitarnya.
Kembali ke Madinah
Ketika beliau di kota Romlah ada serombongan orang Madinah datang. Beliau bertanya tentang keadaan guru beliau, Imam Malik bin Anas. Mereka menjawab bahwa Imam Malik dalam keadaan sehat. Imam Syafi’i merasa rindu dan ingin sekali berjumpa dengan guru yang sangat dicintainya itu. Maka beliau pun mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju ke Madinah.
Sampai di Madinah, setelah berziarah ke makam Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم., beliau lantas menuju pengajian Imam Malik. Ketika Imam Malik mengetahui kehadiran Imam Syafi’i, beliau memanggilnya dan memeluknya dengan penuh kerinduan. Murid-murid Imam Malik yang lain merasa terharu melihat peristiwa ini. Imam Malik lalu membawa Imam Syafi’i duduk disisinya. Beliau berkata: “ajarilah ini, wahai Syafi’i.” Setelah menyelesaikan pelajaran itu, Imam Malik mengajak Imam Syafi’i ke rumahnya.
Imam Syafi’i tinggal selama beberapa tahun di Madinah. Selama itu beliau senantiasa mendapat perlakuan yang istimewa dan sangat diperhatikan oleh gurunya. Pada bulan Rabi’ul awwal tahun 179 H Imam Malik bin Anas wafat dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ di kota Madinah. Seluruh penduduk Madinah tenggelam dalam duka cita karena meninggalnya Imam yang sangat alim dan mulia ini.
Setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i masih tinggal beberapa lama di Madinah. Beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmunya di sana.
Berita tentang keluasan ilmu beliau segera saja menyebar ke seluruh negeri. Orang berduyun-duyun datang untuk menyimak pelajaran yang beliau sampaikan. Ketinggian ilmu dan ma’rifahnya, baik itu dibidang fiqh, hadits, filsafat, kedokteran, ilmu falak dan lain-lain membuat khalifah Harun al-Rasyid mengundang beliau dan meminta beliau untuk mengajar di kota Baghdad.
Sejak saat itu beliau dikenal secara luas dan lebih banyak lagi orang yang datang menuntut ilmu padanya. Pada waktu itulah madzhab beliau mulai dikenal. Imam Syafii mengajar banyak orang yang kelak sebagian dari mereka menjadi ulama-ulama yang besar pula. Diantara murid-murid beliau yaitu Imam Ahmad bin Hanbal yang kelak dikenal sebagai salah seorang Imam madzhab juga.
Semua orang, baik dari kalangan pejabat maupun rakyat sangat mencintai dan mengagungkan kedudukan Imam Syafi’i. Demikian pula murid-murid beliau begitu menaruh hormat padanya.
Ini terbukti ketika Imam Ahmad bin Hanbal sakit dan Imam Syafi’i membesuknya. Waktu beliau sampai di rumahnya, Imam Ahmad bin Hanbal langsung turun dari tempat tidurnya dan meminta Imam Syafi’i untuk duduk di tempat itu. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal duduk di tanah dan sewaktu-waktu beliau bertanya pada Imam Syafi’i.
Ketika Imam Syafi’i hendak pulang, Imam Ahmad bin Hanbal menaikkan beliau ke hewan tunggangannya. Lalu Imam Ahmad bin Hanbal naik ke tunggangannya -beliau dalam kondisi sakit- dengan menerobos jalan dan pasar-pasar Baghdad, sampai ia bisa mengantar Imam Syafi’i tiba di rumahnya.
Pulang ke Mekkah
Setelah beberapa waktu berada di Baghdad, beliau bermaksud pulang ke Mekkah. Memakan waktu perjalanan beberapa hari akhirnya beliau sampai di Mekkah. Waktu itu tahun 181 H. Sebelum masuk kota Mekkah, beliau mendirikan kemah di luar kota. Penduduk Mekkah keluar untuk menyampaikan salam dan menyambutnya.
Beliau lalu membagi-bagikan seluruh emas dan perak yang beliau miliki kepada mereka. Hal itu dilakukan untuk melaksanakan wasiat ibunya ketika beliau datang ke Mekkah. Begitulah, Imam Syafi’i masuk ke kota Mekkah dalam keadaan tidak membawa apapun, sama seperti ketika beliau keluar dari Mekkah dalam keadaan tidak membawa benda apapun.
Beliau tinggal di Mekkah selama 17 tahun. Selama berada disana beliau mengajarkan ilmu pada manusia. Madzhab Imam Syafi’i tersebar di antara jamaah haji dan mereka membawa madzhab tersebut ke tempat asal mereka masing-masing.
Selama 17 tahun tinggal di Mekkah beliau mendengar wafatnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang dahulu pernah ditemuinya di kota Kufah. Setelah itu wafat pula Harun al-Rasyid.
Setelah sekian lama tinggal di Mekkah beliau lantas kembali ke kota Baghdad. Disana beliau melanjutkan kegiatan mengajar selama beberapa waktu. Setelah itu beliau bermaksud hendak pergi ke Mesir. Ketika penduduk Baghdad mendengar akan kepergian orang mulia ini, maka mereka keluar untuk perpisahan dengan beliau.
Di tengah-tengah penduduk ini ada Imam Ahmad bin Hanbal. Maka diwaktu itu Imam Syafi’i memegang erat tangan Imam Ahmad bin Hanbal dan berkata: “sungguh aku rindu akan bumi Mesir. Selain Mesir adalah bumi yang tandus. Demi Allah, aku tidak tahu untuk kemuliaan atau untuk kaya aku pindah ke Mesir. Atau pindah ke kubur?”
Seakan-akan Imam Syafii merasa akan wafat di Mesir dan kuburannya akan berada di negeri itu. Lalu beliau menangis. Imam Ahmad bin Hanbal dan semua orang yang menyaksikan perpisahan itu menangis semua. Imam Ahmad bin Hanbal pulang sambil bercucuran airmata dan berkata pada para penduduk Baghdad: “ sungguh ilmu fiqh telah tertutup, lalu Allah membukakan ilmu itu dengan kedatangan Imam Syafi’i.”
Menetap di Mesir
Di negeri Mesir segera saja penduduknya jatuh hati pada Imam Syafi’i. Para ulama negeri itu juga memuliakannya dan meminta beliau untuk mengajar di masjid Amru bin Ash. Beliau mengajar sehabis subuh sampai zhuhur. Imam Syafi’i adalah orang pertama yang mengajar ilmu hadits di Mesir sampai zhuhur. Setelah itu beliau melanjutkan pelajaran di rumahnya.
Para ulama dan orang-orang jenius terpelajar lainnya datang menyimak pelajaran yang beliau sampaikan baik di masjid maupun di rumah. Di antara orang-orang yang belajar pada beliau yang kelak menjadi ulama terkenal adalah Muhammad bin Abdullah bin Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti, Rabi’ Al-Jizi dan lain sebagainya.
Ketika di Mesir ini pula Imam Syafi’i banyak menulis kitab yang berisi madzhab beliau. Di antara kitabnya adalah Al-Umm, Imla’ al-Shaghir, Jizyah, Ar-Risalah dan lain sebagainya.
Sebagian dari akhlak Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah seorang yang taqwa, zuhud dan wara’. Beliau juga sangat santun dalam memberi peringatan kepada orang yang melakukan kesalahan. Hatinya sangat lembut dan dermawan terhadap harta.
Baihaqi meriwayatkan dari Hasan bin Habib. Dia berkata: “Aku melihat Imam Syafi’i menunggang kuda melewati pasar sepatu.
Tiba-tiba cambuknya jatuh dan mengenai salah seorang pedagang sepatu. Lalu pedagang sepatu itu mengusap cambuk untuk membersihkannya dan memberikan cambuk itu pada beliau. Imam Syafi’i lalu menyuruh budaknya untuk memberikan uangnya pada pedagang itu.”
Tiada hari yang dilewati beliau tanpa bershadaqah. Siang dan malam beliau selalu bershadaqah, Apalagi di bulan Ramadhan. Beliau juga sering mengunjungi fakir miskin dan menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka. Untuk menafkahi keluarganya beliau berdagang.
Imam Syafi’i sangat baik dalam memperlakukan kerabat-kerabatnya. Beliau menghormati mereka dan tidak menyombongkan dirinya. Beliau menghormati orang sesuai posisinya. Imam Syafi’i pernah berkata: “Paling zhalimnya orang adalah ia yang menjauhi kerabatnya, tidak mau tahu terhadap mereka, meremehkan dan sombong pada orang yang memiliki keutamaan.”
Beliau juga senantiasa memaafkan orang yang berbuat kesalahan kepadanya. Beliau membalas kejahatan dengan kebaikan dan tidak pernah menyimpan dendam kepada seseorang.
Pujian Ahmad bin Hanbal kepada Imam Syafi’i
Sewaktu di Baghdad, Imam Syafi’i selalu bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam Syafi’i, sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada bapaknya itu. Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di rumah untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal lalu menemui Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu.
Ketika Imam Syafi’i telah berada di rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan banyak sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri Imam Ahmad bin Hanbal.
Setelah makan malam, Imam Ahmad bin Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan tubuhnya dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu subuh tiba beliau langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih dulu.
Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam Syafi’i, yang menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad yang menolak untuk menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i.
Mengenai hidangan yang dimakannya dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad, memang benar aku makan banyak, dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan itu halal dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya dan makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan malam ini adalah malam yang paling berkah bagiku.”
“Kenapa begitu, wahai guru?”
“Begitu aku meletakkan kepala di atas bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم. digelar di hadapanku. Aku menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang bermanfaat bagi orang islam. Karena itu aku tak sempat shalat malam.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada putrinya: “inilah yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh, berbaringnya beliau lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak tidur.”
Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku shalat subuh tanpa wudhu sebab aku masih
suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun .wudhuku masih terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat subuh tanpa berwudhu lagi.”
Dilain kesempatan Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “aku tidak pernah shalat sejak 40 tahun silam kecuali dalam shalatku itu aku berdoa untuk Imam Syafi’i.”
Abdullah, putranya lantas bertanya: “wahai ayahku, seperti apa sih Syafi’i, sehingga ayah selalu berziaroh ke Makam Imam Syafi'i
berdoa untuknya?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “wahai anakku, Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi dunia dan seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah anakku, betapa pentingnya dua hal itu.”
Abdul Malik bin Abdul Hamid al-Maimuni berkata: “Aku berada di sisi Ahmad bin Hanbal dan beliau selalu menyebut Imam Syafi’i. Aku selalu melihat beliau mengagungkan Imam Syafi’i.”
Wafatnya Imam Syafi’i
Beliau wafat pada malam jum’at akhir dari bulan Rajab tahun 204 H setelah mengalami sakit selama beberapa waktu. Setelah isya ruh beliau yang suci kembali ke Rahmatullah di pangkuan murid beliau, yaitu Rabi’ al-Jizi. Jenazah beliau dimakamkan dengan iringan tangis dan rintih duka cita dari segenap penduduk Mesir.
IMAN NAWAWI
Written By Unknown on Sunday, July 21, 2013 | 4:53 AM
Al Imam an-Nawawi Sang `Alim Penasehat
Nasab Imam an-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i
Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau.
Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.
Kelahiran dan Lingkungannya
Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.
Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini.
Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur.
Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
Pengalaman Intelektualnya
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.
Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:
Pertama, Kegigihan dan Keseriusannya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’ , ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’ , ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.
Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan- nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam. Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’ , ‘Riyadl ash-Shalihin’ , ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’ , ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.
Budi Pekerti dan Sifatnya
Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.
· Zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
· Wara’
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.
Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah.
· Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.
· Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.
Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.
Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja.
Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesungguhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.
Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.
Wafatnya
Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.
(Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy).
(Abu Hafshoh)
Nasab Imam an-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i
Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau.
Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.
Kelahiran dan Lingkungannya
Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.
Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini.
Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur.
Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
Pengalaman Intelektualnya
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.
Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:
Pertama, Kegigihan dan Keseriusannya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’ , ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’ , ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.
Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan- nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam. Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’ , ‘Riyadl ash-Shalihin’ , ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’ , ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.
Budi Pekerti dan Sifatnya
Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.
· Zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
· Wara’
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.
Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah.
· Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.
· Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.
Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.
Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja.
Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesungguhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.
Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.
Wafatnya
Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.
(Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy).
(Abu Hafshoh)
Biografi Syekh Nawawi Al Bantani-Al-Jawi
Written By Unknown on Saturday, July 13, 2013 | 1:02 PM
Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi adalah ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten pada 1813. Ia layak menempati posisi sebagai tokoh utama Kitab Kuning Indonesia karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Ulama ini bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi.
Sejak kecil, ia telah diarahkan oleh ayahnya, K.H. Umar bin Arabi untuk menjadi seorang ulama. Ayahnya menyerahkan Nawawi kepada K.H. Sahal, ulama terkenal di Banten. Setelah belajar bersama K.H. Sahal, Nawawi belajar kepada K.H. Yusuf, seorang ulama besar Purwakarta.
Ayah Syekh Nawawi adalah seorang pejabat penghulu. Berdasarkan silsilahnya, ayah Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).
Ketika berusia 15 tahun, Nawawi pergi ke Mekkah bersama dua orang saudaranya untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Nawawi tetap tinggal di Mekkah. Ia memperdalam agama Islam kepada para ulama besar kelahiran Indonesia, seperti Imam Masjid Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga tahun lamanya Nawawi menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah itu, ia pun kembali ke Indonesia. Lalu, ia mengajar di pesantren ayahnya. Namun di tanah air, ia tidak dapat mengembangkan ilmunya karena saat itu negara Indonesia memang sedang dijajah Belanda. Akhirnya, Nawawi kembali ke Mekkah dan tinggal di daerah Syi’ab ‘Ali.
Nawawi memiliki kecerdasan dan ketekunan yang luar biasa. Hal tersebut menjadikan Nawawi sebagai murid terpandang di Masjidil Haram. Ia akhirnya menjadi Imam Masjidil Haram untuk menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang telah berusia lanjut. Nawawi mendapat panggilan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi.
Ia juga menjadi guru bagi siswa-siswa yang datang dari berbagai belahan dunia. Murid-murid Nawawi yang berasal dari Indonesia adalah K.H. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, K.H. Arsyad Thawil dari Banten, dan K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian menjadi ulama-ulama terkenal di Indonesia.
Syekh Nawawi juga giat menulis buku. Ia termasuk penulis yang banyak melahirkan karya. Ia banyak menulis kitab tentang persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf. Beberapa kalangan bahkan menyebutkan bahwa Nawawi telah menulis lebih dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Sebagian karya Syekh Nawawi diterbitkan di Timur Tengah. Dengan karya-karyanya ini, ia ditempatkan sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga kini. Selanjutnya, kitab-kitabnya itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan di Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga di Timur Tengah.
Nawawi pun dijuluki Imam Nawawi kedua. Nawawi pertama adalah yang menulis Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syahrul Muhadzdzab, Riyadhush Shalihin, dan lain-lain. Ia tetap dipanggil Syekh Nawawi (al-Bantani) bukan Imam Nawawi (ad-Dimasyqi).
Nama Syekh Nawawi pun termasuk salah satu ulama besar abad ke-14 H/19 M. Tentu ini berkat karya Nawawi yang tersebar luas dan ditulis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Berkat kemasyhurannya pula, ia mendapat gelar A’yan ‘Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah, al-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Karya Nawawi pun banyak masuk di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada perkembangan wacana keislaman di pesantren. Sejak 1888, kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Jika sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh, dan hadits, sejak saat itu bidang keilmuan tersebut mulai dikaji. Perubahan ini juga tidak terlepas dari jasa tiga ulama Indonesia, yaitu Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, dan Kiai Mahfuz Termas.
Karya-karya Nawawi memang sangat berpengaruh bagi pendidikan pesantren. Sampai tahun 1990, diperkirakan terdapat 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipergunakan di pesantren. Selain itu, 11 karya populer sering digunakan sebagai kajian di pesantren-pesantren.
Penyebaran karya Nawawi di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara pun makin memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Perlu diketahui, penyebaran karya Nawawi tersebut tidak terlepas dari jasa K.H. Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi yang berasal dari Jombang. K.H. Hasyim Asy’ari-lah yang memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib ‘Ali, sebuah kawasan di pinggiran Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M. Ia dimakamkan di Ma’la, Arab Saudi, dekat makam Khadijah binti Khuwailid. Beberapa tahun setelah wafat, pemerintah Kerajaan Saudi berniat memindahkan makam beliau, namun para petugas berwenang segera mengurungkan niatnya. Hal ini karena jenazah Syekh Nawawi al-Bantani dan kain kafannya terlihat masih utuh. Jika pergi ke Mekkah, kita masih bisa berziarah ke makam beliau, di pemakaman umum Ma’la.
*) Dari berbagai sumber
*Semua ilustrasi dan gambar di Blog Serunai Hati bersumber dari image google*"Anda sedang membaca artikel atau pun makalah tentang Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi: Mahaguru Ulama Indonesia dan Anda bisa menemukan artikel atau pun makalah Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi: Mahaguru Ulama Indonesia ini dengan url http://serunaihati.blogspot.com/2012/09/biografi-syekh-nawawi-al-bantani-al.html, Anda boleh menyebarluaskannya atau mengcopypaste-nya jika artikel atau pun makalah Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi: Mahaguru Ulama Indonesia ini sangat bermanfaat bagi Anda sekalian,
sumber:
Mengenang Hazratusy Syeikh Muda Waly Al-Khalidy
Written By Unknown on Wednesday, July 10, 2013 | 8:24 AM
Ayahku dilahirkan di desa Blangporoh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917. Tidak ada yang mengetahui dari famili beliau tentang hari, tanggal dan bulan, kapan beliau dilahirkan. Ini pada umumnya sering terjadi pada orang-orang tua kita zaman dahulu. Meskipun mereka itu ulama atau guru, tetapi soal mencatat hari dan tanggal kelahiran, lahirnya anak atau cucu, kurang begitu diperhatikan, selain hanya diingat, tahun kelahiran saja. Teramasuk diriku sendiri, untunglah aku mengetahui, bahwa hari dan tanggal kelahiranku tiba-tiba aku melihat catatan dari ayahku pada satu kitab, bahawasanya kelahiranku, adalah pada hari Rabu, atau Arba’a, 17 Disember 1936, pada pagi harinya (menurut kata ibukandungku).
Beliau adalah putera bungsu dari putera-puteri orang tua beliau yang bernama Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito. Sebenarnya ada lagi adik beliau, tetapi meninggal dunia pada waktu beliau masih kecil.
Haji Muhammad Salim, orang tua ayahku berasal dari Batusangkar, Sumatera Barat. Kalau aku tidak salah ingat bahwa di Batusangkar itu ada sebuah desa, yang disebut dengan Koto Baru, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Aku telah datang ke desa itu pada waktu aku berusia lebih kurang 12 tahun, dibawa oleh ayahku pada waktu beliau melawat ke Sumatera Tengah, dan oleh karena aku dalam usia demikian sudah bisa pidato dan membaca kitab-kitab Tsanawiyah, maka aku diangkat oleh famili orang tuaku degan panggilan “Malim Kecik” yang ertinya “Alim Kecil.
Kakekku Haji Muhammad Salim bin Malin Palito datang ke Aceh Selatan adalah selaku da’i atau pendakwah dan juga sebagai guru agama. Di samping itu, pula paman beliau yang masyhur dipanggil oleh masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat, yang nama aslinya ialah Syeikh Abdul Karim, lama telah mendahului beliau, merantau ke Aceh Selatan dan mengambil tempat tinggal di Kecamatan Labuhan Haji, juga selaku da’i guru dan ulama, menyebarkan nilai-nilai agama Islam. Dorongan itulah yang paling kuat bagi kakekku Haji Muhammad Salim, meninggalkan Sumatera Barat menuju Aceh Selatan dengan kapal layar perahu pada zaman itu.
Tidak lama setelah beliau, yakni kakekku itu berada di Kecamatan Labuhan Haji, di bawah kepimpinan pamannya itu, maka kakekku ada jodohnya, dengan seorang wanita pilihan yang bernama Janadar, puteri seorang Kepala Desa yang bernama Keucik Nya’Ujud, yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Itulah Ibu Kandung ayahku. Orang tua beliau seorang ulama dan ibu kandung beliau keturunan pemimpin masyarakat yang juga dikenal di Kecamatan Labuhan Haji.
Pada waktu orang tuaku masih kecil adik kandung beliau meninggal dunia, bahkan ibu kandung beliau sendiri Siti Janadat berpulang ke rahmatullah. Kalau aku tidak salah, bahwa nenekku itu meninggal dunia karena melahirkan. Ada yang mengatakan begitu. Maka tinggallah ayahku selaku anak yatim, kehilangan ibu kandungnya. Nenekku Siti Janadat itu paling dicintai oleh kakekku Haji Muhammad Salim, meskipun ayahku mempunyai kakak-kakak kandungnya yang laki-laki bernama Abdullah Ghani dan adiknya ialah Ummi Kalsum dan Siti Maliyah.
Meskipun kakak-kakak ayahku sangat mencintai adiknya, yakni ayahku, tetapi bagi kakekku tidak melepaskan ayahku dalam segala hal kepada kakek-kakaknya itu. Ayahku selalu digendong oleh kakekku di atas bahunya kemana saja beliau pergi mengajar dan berdakwah meskipun setelah itu kakekku Haji Muhammad Salim berumah tangga lagi di suatu desa dalam Kecamatan Manggeng, tetapi tidak lama karana kecintaan kakekku kepada ayahku adalah melebihi dari segala- galanya, termasuk atas isteri kakek yang baru, bahkan atas puteri-puterinya yang lain. Tentu kita dapat menggambarkan, bahwa kecintaan seorang ayah yang juga ulama, yang menjadi ikutan umat, terhadap anaknya senantiasa dibarengi dengan doa yang tiak putus-putusnya. Baik setelah selesai mengerjakan ibadah, atau di waktu sang ayah di mana kalbunya terlintas pada anaknya.
Menghayati yang demikian itu, maka aku yakin apa yang telah diceritakan oleh Syeikh Haji Teungku Adnan Mahmud Bakongan, sahabat dan murid orang tuaku, pemimpin Pesantren Ashabul Yamin di Bakongan Aceh Selatan, bahwa kakekku Haji Muhammad Salim bermimpi, bahwa bulan purnama turun ke dalam pangkuan beliau dan pada waktu itu ayahku sedang dalam kandungan ibundanya, Siti Janadat. Meskipun mimpi tidak dapat dijadikan dalil pada hukum, tetapi dalam pemahaman isyarat, banyak benarnya. Dan ini telah diungkapkan oleh al-Quran, yang menggambarkan mimpinya Raja Mesir dan kemudian dita’wilkan oleh Nabi Yusuf AS, Maka kalau dita’wilkan mimpi kakekku itu, maka nyatalah kebenarannya, bahwa puteranya yang dicintainya itu suatu waktu akan menjadi ulama besar, suluh penerang bagi umat manusia pada zamannya. Aku dapat mengatakan ha keadaan ini berdasarkan sedikit serupa bagi apa yang telah terjadi dari mimpi Yusuf AS yang kemudian beliau ta’wilkan sendiri, dengan beliau ungkapkan pada orang tuanya Nabi Ya’qub AS.
Nama ayahku pada waktu kecil ialah Muhammad Waly. Setelah beliau berada di Sumatera Barat, dalam saf para ulama Besar, maka beliau dipanggil dengan gelaran Angku Mudo, atau Tuanku Mudo Waly, atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali dari Sumatera Barat ke Aceh, di Kecamatan Labuhan Haji pada khususnya,, masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sendiri menulis namanya dengan Muhammad Waly atau secara lengkap Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Sedangkan ibuku yang lain, Hajah Rabi’ah Jamil, ibu kandungnya adik-adikku Ahmad Waly dan Haji Mawardi Waly, pernah aku lihat pada sebuah buku kecil yang ditulisnya tentang rentetan nama orang tuaku: Syeikh Haji Muhammad Waly al Syafi’i Mazhaban wa al-Asy’ari Aqidatan wa al-Naqsyabandi Tariqatan. Tetapi ayahku tidak pernah menulis rentetan nama beliau dengan predikat yang demikian itu. Sebab ummiku Hajah Rabi’ah Jamil adalah puteri kandung Syekh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama besar di Sumatera Barat dan tidak ada puteri-puteri Syeikh Jamil yang agak alim, selain puteri beliau ummiku itu.
Pulang ke Aceh
Setelah ayahku berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah SWT, perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pendidikan ayahku serta pengalaman- pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan mendirikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darussalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantren di desa kelahiran beliau sendiri.
Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui perahu layar dari Padang ke Aceh di Kecamatan Labuhan Haji. Ayahku disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad untuk membangun sebuah pesantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka ayahku hanya mendirikan kali pertama sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas tempat tinggal ayahku beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.
Yang paling besar sekali hatinya dengan kepulangan ayahku ialah ayahanda beliau sendiri, yakni kakekku Haji Muhammad Salim. Meskipun ayahku memimpin upacara ibadah dalam arti yang luas, tetapi kakekku senantiasa berada di samping ayahku, turut membantu dalam memberikan penyampaian-penyampaian ajaran Islam secara lebih khusus terhadap para jamaah yang hadir.
Lahan tempat mendirikan musalla yang diberikan oleh famili ayahku adalah sangat terbatas, sedangkan jamaah umat Islam sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau ayahku. Ibu-ibu pada malam Selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam Rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka ayahku ingin memperluas lahan untuk betul-betul mulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggal sekalian, yang dalam istilah Aceh disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400×250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatagan sedikit demi sedikit dari Kecamatan Labuhan Haji, dari Kecamatan-Kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai Kabupaten di daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatera.
Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut:
Pertama: Daru Muttaqin, di bahagian ini terletak lokasi sekolah-sekolah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan Tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwah atau suluk, 40 hari dalam Ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 hari dalam Ramadan dengan 10 hari sebelumnya, 10 hari pada awal Zulhijjah, ditutup degan Id al-Adha dan 10 hari pada bulan Maulud, ditutup dengan hari besar Islam Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kedua: Darul- Arifin; di lokasi ini bertempat tinggal guru-guru yang pada umumnya sudah berumah tangga dan lokasi agak berdekatan ke pantai, laut samudera Hindia.
Ketiga: darul Muta’allimin; di lokasi ini bertempat tinggal para pelajar pilihan di antaranya guruku Syeikh Idrus bin Abdul Ghani al-Kamfari. Aku sendiri dan adik-adikku beserta para penuntut ilmu pengetahuan lainnya. Keempat: Darus Salikin; di lokasi ini banyak tempat tinggal dalam asramanya pelajar-pelajr yang disamping menuntutu ilmu pengetahuan juga berkhalwah, apalagi pada bulan-bulan khalwah seperti bulan Ramadhan, bulan Maulud dan bulan Haji, maka asrama-asrama dilokasi ini banyak ditempati oleh orang-orang yang berkhawah. Kelima: Darul Zahidin; Keenam: Darul Ma’la.
Semua lokasi diatas dinamakan oleh ayahku dengan nama-nama tersebut, dengan harapan sebagai tafaul kepada Allah SWT. semoga para penuntut ilmu pengetahuan agama yang tamatan dari pesantren Darussalam benar-benar menjadi hamba Allah yang senantiasa belajar seumur hidup (al Muta’allimin), menjadi hamba-hamba Allah yang bertaqwa (al_Muttaqin), menajdi hamba-hamba Allah yang zahid, lebih mengutamakan akhirat dari dunia (al-Zahidin), dan menjadi hamba-hamba yang salih (al-Salikin) dan mendapat tempat yang terhomat, baik dalam pandangan masyarakat, apalagi dalam pandangan Allah SWT. (al-Ma’la). Oleh karena itu banyak cita-cita ayahku dalam pengembangan Islam di Aceh diperkenakan Allah. Karena itulah, hampir seluruh pesantren di Aceh adalah berpangkal dari pesantren ayahku Darussalam Labuhan Haji.
Written By Unknown on Monday, May 13, 2013 | 9:57 AM
Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.
PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang
KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:
1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.
4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.
Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”
MENUTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.
Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”
Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”
PRINSIP AQIDAH BELIAU
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
PRINSIP DALAM FIQIH
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”
Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”
Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
PESAN IMAM ASY-SYAFI`I
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
Sumber: Majalah As-Salaam
Biografi Al-Ghazali
Biografi Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali Lahir pada 450 H (1058 M) di desa Taberan distrik Thus, Persia, dan bernama Abu Hamid Muhammad, Gelarnya adalah "Hujjatul Islam" dan gelar wangsanya adalah Ghazzali. Nama ayahnya kurang begutu dikenal namun kakeknya adalah orang terpandang pada masanya.
Ayahnya meninggal dalam usia muda sehingga meninggalkan ia diasuh oleh ibu dan kakeknya. Ghazzali disebut-sebut sebagai nama sebuah desa distrik Thus, provinsi Khurasan, Persia. Menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid Muhammad mempunyai usaha pertenunan (ghazzal) dan karena itu dia melestarikan gelar keluarganya "Ghazzali" (penenun).
Pendidikannya, pada saatnya Ayahnya meninggal dunia, pendidikan kedua anaknya dipercayakan kepada salah seorang kepercayaannya. Dia memberikan keduanya pendidikan dasar lalu mengirimkan ke Maktab swasta. Kedua anak tersebut mampu menghafal al-quran dalam waktu singkat. Setelah itu mereka mulai belajar bahasa arab.
mereka kemudian dimasukan kedalam madrasah bebas [independen]. Setelah beberapa waktu Ghazzali meninggalkan kota kelahirannya untuk beberapa waktu untuk menempuh pendidikan tinggi di Zarzan dan belajar dibawah bimbingan ulama besar, Imam Abu Nashr Ismail. Ghazzali senantiasa mencatat perkuliahannya, tetapi dalam suatu peristiwa catatan tersebut ikut terbawa bawa perampok bersama barang-barangnya. Tetepi beliau memberikan diri untuk mendatangi kepala perampok untuk meminta kepada mereka catatan kuliah beliau. Alhamdulillah catatanya tersebut dikembalikan.
Kemudian beliau masuk ke Madrasah Nizamiyah di Nishapur, yang waktu itu adalah pusat pendidikan terpandang dan dipimpin oleh ulama tersohor bernama Imam Haramain, yang memiliki 400 orang murid tiga diantara muridnya menjadi ulama-ulama terkenal, Harasi, Ahmad bin Muhammad dan Ghazzali. Setelah kejadian itu Ghazzali pergi ke pusat kekhalifahan di Bagdad saat itu usia Ghazzali berumur 28 tahun.
Di Bagdad beliau diangkat menjadi Rektor madrasah Nizamiyah oleh Nizamul Mulk.
Ratusan ulama,pejabat kekhalifahan, dan bangsawan yang berkuasa menghadiri perkuliahan Imam Ghazzali yang disampaikan dengan penuh pemikiran, argumen dan alasan. kebanyakan daftar perkuliahan dicatat oleh Sayyid bin Fariz dan Ibn Lubban. keduanya mencatat sekitar 183 bahan perkuliahan yang kemudian dikumpulkan dalam Majalis-i Ghazzaliyah.
Imam Ghazzali adalah pengikut Imam Syafi'i dalam usia mudanya tetapi di Bagdad dia bergaul dengan kalangan dari berbagai mazhab fiqh, pemikiran , dan gagasan : Syi'i, Sunni, Zindiqi, Majusi, Teolog sklolastik, kristen, Yahudi, Ateis. Dan ini berpengaruh pada pemikiaran Imam Ghazali dan pada kehidupannya berubah total. Ia meninggalkan Bagdad, mengenakan pakaian sufi dan menyelinap meninggalkan Bagdad disuatu malam pada tahun 488 H.
Ia pergi ke Damaskus lalu mengasingkan diri dalam sebuah kamar mesjid dan dengan penuh kesungguhan melakukan ibadah, tafakur dan zikir. disini dia mengabiskan waktu selama dua tahun dalam kesendirian dan kesunyian. Pada usia 27 tahun, ia di tahbis oleh Pir Abu 'Ali Farnadi yang juga guru spiritual Wazir Nizamul Mulk. setelah dua tahun, dipergi ke Yerusalem dan berjiaran pada tempat kelahiran Nabi Isa As. pada tahun 499 H ia berjiarah ke tempat suci Nabi Ibrahim As dan disana dia memancangkan tiga sumpah :
Tidak akan pergi ke Dardar seorang penguasa.
Tidak akan menerima pemberian mereka.
Tidak akan terlibat dalam suatu perdebatan agama.
Ia memegang sumpahnya hingga meninggalnya. Selanjutnya dia melakukan ibadah Haji dan mengunjungi Madinah dan tinggal di "Kota Nabi" ini cukup lama. Ketika pulang ia diminta penguasa untuk menjadi rektor Madrasah Nizamiyah, tetapi sewaktu penguasa itu terbunuh maka dia meletakan jabatannya sebagai rektor, penguasa yang baru menawarkan kembali, namun beliau menolaknya.
Dia wafat di desa asalnya, Taberan, pada 14 Jumadil Akhir 505 H bertepatan pada tanggal 9 Desember 1111 M, Ibn Jauzi menceritakan tentang kisah kematiannya. Ia berkata "pada senin dini hari menjelang subuh dia bangkit dari tempat tidurnya dan hendak menunaikan sholat Shubuh dan kemundian setelah itu menyuruh seseorang untuk membawakan kain kafan kepadanya, setelah kain itu diberikan, ia mengangkatnya tinggi hingga ke mata lalu berkata, 'perintah Tuhan di titahkan untuk di taati.' ketika mengatakan demikian ia bernafas untuk terakhir kalinya, beliau meninggalkan seorang anak perempuan."
adapun karya-karya beliau selama hidup hampir 55 tahun dan sudah memulai menulis buku sejak usia 20 tahun. Buku yang beliau tulis hampir berjumlah 400 judul.
Subscribe to:
Posts (Atom)